ARKEOLOGI KEHEBOHAN (Sekali lagi tentang Situs Gunung Padang)



Situs Gunung Padang, Sumber: Wikipedia

Oleh: Truman Simanjuntak

Klaim Tak Berdasar 
Kehebohan arkeologi terlalu sering karena faktor negatif. Masih ingat kisah "Peradaban Atlantis yang hilang"? Cerita halusinasi kebesaran masa lampau seperti ini sangat menarik perhatian kebanyakan orang dan nyatanya hingga sekarang peradaban dimaksud tidak terbukti. Hal yang sama dengan Gunung Padang yang dalam dasa warsa terakhir muncul klaim yang mengatakan: "Gunung Padang sebuah piramida dengan konstruksi berlapis pada kedalaman 20-30 m. Di dalamnya terdapat ruang- ruang tersembunyi yang pembangunan fase pertama (Unit 3) pada era Paleolitik di sekitar 25 -14 ribu tahun. Setelah itu ada kekosongan hingga kemudian dibangun lagi di antara 6000-5500 SM (Unit 2) dan selanjutnya dibangun lagi di antara 2000-1100 SM (Unit 1)" (Natawidjaya et al. 2023).
 
Interpretasi di atas menarik perhatian banyak kalangan, tidak hanya kelompok intelektual tetapi juga masyarakat umum, bahkan pemegang kebijakan sekalipun. Terbayang sebuah kemegahan konstruksi yang merupakan capaian leluhur yang lain dari biasa. Mendengar atau membacanya, tanpa pikir panjang, banyak yang terninabobokkan. Mereka terpana hingga di sanubari mereka terbentuk suatu kebanggaan bahwa leluhur kita memiliki peradaban yang sangat tinggi, melebihi peradaban bangsa-bangsa lain di dunia. Narasi ini dihubungkan pula dengan klaim yang mengatakan Benua Atlantiz yang hilang berada di Laut Jawa, hingga lengkaplah sudah: muncul jargon yang menyimpulkan Indonesia memiliki peradaban tertua di dunia.Perlu dicatat bahwa interpretasi di atas sangat lemah dan tidak berdasarkan metodologi yang benar.

Penelitian hanya terpaku dalam konteks mikro di lingkup situs mengabaikan data semi-makro dan makro. Pertanggalan-pertanggalan yang dihasilkan berasal dari sampel tanah dari lapisan-lapisan tanah yang tidak mengandung sisa kegiatan manusia. Buktinya, tak satupun tinggalan yang dilaporkan atau ditemukan pada lapisan yang dipertanggal, dan tidak ada pula deskripsi atau gambar tentang struktur yang membentuk ruangan di bawah bukit. itu sendiri tanpa dilengkapi data konteks makro di lingkup regional atau kawasan Data yang tidak valid dan komprehensif ini menjadikan interpretasi jauh dari kenyataan. Kita akan membahasini lebih rinci di belakang dan hal ini terbukti pula dari artikel yang sempat dimuat Journal Archaeological Prospection ditarik kembali oleh penerbitnya.

Interpretasi Dalam Arkeologi
Suatu interpretasi tanpa dasar adalah halusinasi, sebuah persepsi yang kenyataannya tidak ada. Arkeologi melalui metodologinya yang khas adalah ilmu yang menelusuri dan merekonstruksi cara- cara hidup, perkembangan serta proses perubahan budaya di masa lampau berdasarkan tinggalan budaya material (Binford 1972). Tinggalan dimaksud dapat berupa artefak atau benda yang dibuat dan digunakan manusia, ekofak sebagai sisa lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan manusia, dan fitur atau tinggalan kehidupan yang jika dipindahkan akan hancur. Keterbatasan tinggalan yang sampai kepada kita menjadi salah satu faktor kesulitan dalam memaknai atau menginterpretasikan arti sebuah penemuan. Namun demikian, arkeologi tidak langsung menyerah, ilmu ini menggunakan berbagai upaya agar data yang terbatas itu dapat bercerita maksimal tentang masa lalunya.

Pertama, melakukan analisis data yang dimiliki tinggalan, menyangkut morfologi, teknologi, atau fungsi.

Kedua, melakukan analisis konteks mikro di lingkup deposit tinggalan (stratigrafi, asosiasi tinggalan, dll) di dalam situs.

Ketiga, melakukan analisis konteks semi-makro dan makro dengan melihat keterkaitan temuan situs atau tinggalan dengan situs atau tinggalan sejenis di wilayah sekitar hingga lingkup regional-kawasan. Dasarnya, kehidupan tidak terisolasi pada satu lokasi, tetapi meluas ke wilayah-wilayah lain melalui proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan biotik dan abiotik kesetempatan.

Keempat,
melakukan analisis data temporal dengan menghubungkan data pertanggalan tinggalan atau situs dengan pertanggalan tinggalan atau situs sejenis di lingkup regional.

Kelima, melakukan percobaan peniruan terhadap tinggalan yang ditemukan untuk mendapatkan gambaran tentang proses teknologi pembuatan serta fungsinya.

Keenam, melakukan studi etno-arkeologi dengan mempelajari proses teknologi, arti dan fungsi suatu benda yang masih eksis di masyarakat untuk memberi pemahaman tentang temuan masa lampau.

Ketujuh, meminta bantuan disiplin ilmu-ilmu lain terkait manusia, lingkungan, dan budaya.

Ketujuh upaya ini memperlihatkan penarikan suatu interpretasi membutuhkan data selengkap mungkin. Semakin lengkap data pendukung, semakin valid interpretasi yang dibuat. Sebaliknya, semakin lemah data pendukung, semakin kabur pula interpretasi yang dikonstruksi.

Gunung Padang
Sekarang mari kita lihat Gunung Padang dari beberapa perspektif berdasarkan data yang tersedia agar kita memahami lebih jelas tentang situs ini. Perspektif dimaksud menyangkut dimensi bentuk, ruang, dan waktu. Ketiganya saling melengkapi dalam memberikan gambaran tentang situs.

Perspektif Bentuk
Gunung Padang adalah sebuah punden berundak, salah satu unsur Megalitik yang didirikan untuk sarana pemujaan roh leluhur. Dalam budaya Megalitik, arwah leluhur dipercaya dapat memberikan kebaikan atau keburukan, sehingga itu perlu disembah atau dimuliakan, agar yang masih hidup memperoleh kesejahteraan, kesuburan, dll; serta terhindar dari hal-hal buruk. Sesuai fungsinya, punden berundak sangat berkembang luas di kepulauan, umumnya terletak di atas perbukitan atau ketinggian, lokasi yang dianggap suci. Sering pembangunannya memanfaatkan kontur alam dengan atau tanpa campur tangan manusia. Punden berundak melekat dalam alam pikir leluhur Nusantara karena sudah berakar pada budaya Neolitik sebelumnya. Hingga sekarang pun kepercayaan atas kekuatan roh masih melekat dalam sanubari masyarakat tertentu walaupun sudah menganut agama modern.

Punden Gunung Padang terdiri dari lima undakan (Undakan 1-5 berurutan dari bawah) dengan undakan-undakan yang semakin menyempit ke arah atas dihubungkan tangga-tangga batu. Catat bahwa undak-undakan hanya pada sisi selatan bukit, sisi lainnya alami sebagai lereng bukit. Dari perspektuf bentuk ini sangat jelas bahwa Gunung Padang adalah punden berundak yang dibangun di satu sisi bukit, bukan piramida - bangunan simetris dengan keempat sisinya semakin mengecil ke arah atas. Catat: bukan pula piramida yang tertua di dunia, jargon yang sering dihembuskan hingga dapat meninabobokkan.

Perspektif temporal
Sejauh ini pertanggalan radiometri, melalui metode C-14 menggunakan sampel arang (cal. 117 - 45 BC (Yondri 2017) mengindikasikan punden berundak Gunung Padang sudah eksis beberapa abad SM. Data ini selaras dengan masa perkembangan Megalitik di Indonesia yang dimulai dari beberapa abad SM dengan yang tertua sejauh ini di Lembah Besoa dari 2460 ± 120 BP (cal. 831 BC-232 BC) (Yuniawati 2010; Prasetyo 2011). Megalitik terus berlanjut melintasi masa hingga hingga di wilayah tertentu - seperti di Sumba - masih bertahan sampai sekarang (Simanjuntak 2020).

Perlu diketahui, bahwa sebelum kehadiran Megalitik, Nusantara masih dalam periode Neolitik (ca 4000 BP-beberapa abad SM) di mana para leluhur nusantara mulai bertempat tinggal menetap mendomestikasikan tumbuhan dan hewan. Sebelumnya lagi masih periode Preneolitik yang dicirikan kehidupan di dalam gua atau ceruk alam (12.000-4000) dengan mengandalkan hasil kegiatan berburu dan meramu. Paling tua dan paling lama adalah periode Paleolitik yang dimulai sejak kehadiran manusia di Nusantara ca 1,5 juta tyl yang dicirikan kehidupan nomaden. Dari sejarah kebudayaan ini terlihat bahwa Megalitik baru muncul dan berkembang di ujung masa prasejarah, sebelum Nusantara memasuki masa sejarah.

Jadi klaim yang mengatakan Gunung Padang terstruktur dalam tiga unit yang dibangun bertahap, mulai dari konstruksi pertama pada budaya Paleolitik ca 25-14 kyr, berlanjut ke konstruksi kedua di antara 6000-5500 SM, dan kemudian konstruksi ketiga di antara 2000-1100 SM terbantahkan, karena memang tidak sesuai dengan tahapan-tahapan sejarah kebudayaan di atas. Mengingatkan, bahwa pada masa 25-14 ribu tyl serta 6000-5500 tyl, populasi Nusantara masih hidup di gua-gua mengandalkan hasil kegiatan berburu dan meramu. Pada masa sekitar 2000-1100 tyl, mereka baru memasuki Neolitik, masa di mana populasi Nusantara mulai memraktekkan sedentarisasi dan domestikasi. Budaya monumental (Megalitik) - seperti Gunung Padang - baru diperkenalkan ke Nusantara setelah Neolitik. Interpretasi di atas menjadi lebih lemah lagi ketika pertanggalan- pertanggalan yang ada didasarkan pada sampel dari lapisan non-konteks arkeologi.

Data morfologi, spasial, dan temporal yang tersedia menunjukkan punden berundak Gunung Padang merupakan bagian dari perkembangan Megalitik di pedalaman Jawa bagian barat. Berbagai tinggalan megalitik berupa punden, menhir, dolmen, dll tersebar luas di kawasan ini dengan punden yang terbesar di Lebak Sibedug di samping Gunung Padang. Hipotesis sementara, punden ini mulai dibangun beberapa abad SM dan berlanjut hingga jauh memasuki masa sejarah. Perkembangannya mengalami pasang surut seiring masuknya pengaruh-pengaruh luar. Di antaranya pengaruh Hindu- Buddha yang memasuki pesisir Jawa Barat sejak abad ke-5 M menjadikan perkembangannya lamban dan baru menguat setelah Hindu-Buddha melemah hingga menghilang di sekitar abad ke-10 M. Setelah itu menurun kembali ketika wilayah Gunung Padang dan sekitarnya dimasuki pengaruh Islam di sekitar abad ke-14/15 M.

Perspektif Spasial
Sebagaimana disinggung di atas, untuk memahami Gunung padang secara komprehensif tidak cukup berdasarkan data mikro, tetapi juga data semi-makro (lingkungan sekitarnya) serta data makro (lingkup regional-global). Fakta menunjukkan bahwa punden berundak beserta unsur Megalitik lainnya tersebar luas di Nusantara. Sebaran ini memperlihatkan keberadaan satu punden tidak terlepas dari keberadaan punden lainnya. 
 
Hal yang sama dengan Gunung Padang bukan punden yang berdiri sendiri, tetapi mengait dengan punden-punden lain di kawasan pedalaman barat Jawa dan Nusantara pada umumnya. Soal mana yang tertua itu persoalan lain yang membutuhkan data pertanggalan yang lebih lengkap di kepulauan. Perlu dicatat, bahwa proses adaptasi serta penonjolan identitas lokal kerap menimbulkan kekhasan kekhasan pada tinggalan, tetapi bukan lantas menafikan keterkaitan antara satu dengan lainnya. Tentang punden misalnya, ada kekhasan dalam ukuran, jumlah dan bentuk undakan, atau bahan pembuatan, namun bentuk dasarnya tetap sama yaitu terdiri atas undakan-undakan. 
 
Fungsinya juga tetap sama untuk sarana pemujaan leluhur. Kekhasan punden berundak Gunung padang adalah kearifan lokal para pendirinya dengan memanfaatkan kekar kolom (columnar joint) yang tersedia di sekitar bukit untuk tangga naik, menhir, batas-batas pelataran, batas undakan-undakan, sekaligus penahan longsor, dll. Kekhasan yang sama dengan pemanfaatan kolom kekar juga terdapat di beberapa situs megalitik lainnya, seperti di Pelabuhan Ratu, Padang Pariaman, Wonogiri, dan Bima (detik.com). Sekali lagi kekhasan ini merupakan wujud kearifan lokal dari masyarakat-masyarakat pendukung yang memanfaatkan bahan yang tersedia.

Kesimpulan
Penelitian arkeologi sebuah dialog panjang antara peneliti dengan situs dan tinggalan. Complicating…, but challenging, exciting, and intriguing! Menjadi sebuah sukacita ketika kita dapat memberikan pemaknaan (interpretasi) yang benar terhadap suatu penemuan. Sebaliknya jika interpretasi tidak didukung data dan fakta, maka kehebohan memungkinkan terjadi, lebih-lebih jika kita tetap insist pada interpretasi itu.

Demikian dengan Punden Berundak Gunung Padang, interpretasi yang dihembuskan kedengaran membanggakan, tetapi sebenarnya semu. Kita sudah melihat dalam uraian sebelumnya, bahwa interpretasi yang dibangun tidak berdasarkan data pertanggalan yang valid; terpaku di dalam situs; tidak berdasarkan hasil analisis morfologi, teknologi, ataupun fungsi; tidak memanfaatkan data bentuk, spasial, dan temporal; dan tidak pula melihat tahapan-tahapan perkembangan peradaban Indonesia. Kekurangan-kekurangan ini menjadikan interpretasi yang dibangun kehilangan makna kultural, spasial, dan temporal. Berdasarkan kelemahan-kelemahan tadi maka klaim tanpa dasar tentang Gunung Padang sebaiknya dihentikan saja. Tiada guna karena hanya menghabiskan energi yang sia-sia. 
 
Jika sekiranya pemerintah punya hasrat mengembangkan penelitian Gunung Padang, hendaknya tidak diarahkan pada pembuktian keberadaan ruangan-ruangan di bagian dalam bukit, karena akan sia-sia. Bagian dalam bukit steril dari aktivitas manusia. Penelitian sebaiknya diarahkan pada pengumpulan data artefaktual, ekofaktual, dan fitur yang masih tersisa di kompleks punden untuk melanjutkan penelitian-penelitian metodologis-arkeologis sebelumnya, termasuk megalitik regional. Tim yang meneliti pun sebaiknya yang mengandalkan logika, rasionalitas dan obyektivitas; prinsip yang harus dipegang di bidang keilmuan.


Truman Simanjuntak
Center for Prehistory and Austronesian Studies
Jakarta, 8 Feb. 2025

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama